Mencari Solusi di Tengah Pandemi (2)

Thifa kembali masuk ke kamarnya. Dia melihat kembali jam di kamarnya. Pukul 13.00, masih ada waktu baginya untuk menyelesaikan karyanya sebelum tidur siang. Rasa semangatnya kembali meningkat. Dengan segera, Thifa mengambil kembali peralatan yang dibutuhkannya. Tak lupa, dia juga mengambil beberapa bahan tambahan. Tapi kali ini, Thifa meminta bantuan Ibunya. Setelah satu karya jadi dan sudah ternilai bagus, Thifa dan Ibunya melipat gandakan karya tersebut. Mereka mengerjakan semua itu hingga berakhir pada pukul setengah dua siang. Thifa membereskan semuanya, lalu berangkat untuk tidur siang.

Hari demi hari berlalu. Hingga tibalah Hari Rabu. Seperti biasa, wali kelasnya, Bu Sri, memberikan materi pelajaran berupa video. Setelah mandi dan mempersiapkan diri, Thifa duduk tenang di depan laptop sambil membawa alat tulis dan buku catatannya. Sambil mendengarkan video yang diberikan Bu Sri, dia juga merangkum apa yang dijelaskan oleh gurunya.

Oh iya! Besok kita Zoom jam tujuh pagi, ya… Linknya akan Ibu kirimkan tepat setengah tujuh. Besok, kalian juga akan mempresentasikan tulisan ide solusi kalian! Mungkin ini saja yang bisa Ibu sampaikan hari ini. Sampai bertemu di Zoom besok Anak-anak! “. Begitulah Bu Sri ketika menutup pembelajaran hari itu.

Thifa begitu senang. Dia tak sabar untuk bertemu guru dan teman-temannya di Zoom Meeting besok. Setelah selesai mencatat, Thifa merapikan alat tulisnya. Berkali-kali dia mengecek catatan yang akan dipresentasikannya besok. Dia takut jika ada catatannya yang kurang bagus. Tapi, tulisannya ternyata sudah cukup bagus untuk dipresentasikan. Sekali lagi, dia puas dengan hasil kerjanya sendiri. Senyum manis mengembang di wajahnya yang bulat. Karena tugasnya dan tugas adiknya sudah selesai, mereka diperbolehkan untuk bermain di laptop.

Waktu berjalan begitu cepat. Pagi, kemudian siang. Tak lama setelah itu, sore pun tiba. Setelah sore, malam pun datang. Kegelapan malam akhirnya digantikan dengan cahaya matahari pagi. Hari Rabu, kemudian Hari Kamis. Inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh Thifa. Pagi-pagi dia sudah bangun dengan semangat. Setelah sholat, Thifa mandi. Acara mandi selesai, selanjutnya dia harus membereskan rumah. Dia menyelesaikan semua itu tepat saat Bu Sri baru saja mengirim link Zoom Meeting hari ini. Thifa segera bersiap, menyalakan laptop, dan duduk tenang setelah menekan link yang diberikan gurunya. Cukup lama Thifa menunggu untuk masuk ke kelas Zoom. Hampir setengah jam. Thifa meletakkan kepalanya di atas laptop, mencoba mengurangi rasa bosan. Tiba-tiba, dia mendengar suara guru dan teman-temannya dari laptop. Thifa segera mengangkat kepalanya, dan melihat ke layar. Betapa gembiranya dia melihat wajah guru dan teman-temannya. Tak perlu mebuang-buang waktu, Bu Sri langsung memulai pembelajaran. Sejak tadi, Thifa sudah menyiapkan tulisan yang akan dipresentasikannya. Bu Sri akan menunjuk secara acak. Siapa pun anak yang ditunjuk oleh Bu Sri, maka dia harus siap untuk presentasi.

Hmmm…. Selanjutnya, Thifa! “ ucap Bu Sri.

Dengan jantung berdegup kencang, Thifa mulai membacakan hasil tulisannya. Thifa membaca tulisannya dengan sangat cepat. Untungnya, Bu Sri masih bisa mengerti apa yang dibacakan oleh Thifa. Tulisan Thifa cukup singkat dan pendek, sehingga waktu membacanya pun cepat.

Bagus! Diperlambat lagi bacaannya ya… “ nasehat Bu Sri pada Thifa.

Baik Bu… “ jawab Thifa singkat.

Zoom terus berlanjut hingga 40 menit. Setiap anak telah mendapat giliran untuk presentasi.

Anak-anak.. Nanti kalian kirimkan hasil kerja kalian lewat video cara penggunaannya ke WA Ibu ya…. Terima kasih semua! “ pesan Bu Sri ketika menutup pembelajaran via Zoom hari itu.

Thifa langsung keluar dari Zoom begitu pembelajaran selesai. Dia meminta Ibunya untuk membuatkan video untuk dikirimkan ke Bu Sri. Ibunya setuju, dan Thifa bersiap untuk memperlihatkan karyanya dan cara penggunaannya.

Thifa membuat masker yang terbuat dari kain perca. Dirinya terinspirasi untuk membuat benda itu karena dia melihat sekitarnya penuh dengan sampah masker sekali pakai. Beberapa waktu yang lalu, Thifa juga mendengar bahwa ada salah satu tetangganya yang sering kehabisan uang karena membeli masker sekali pakai yang cukup mahal, tapi kemudian dibuang, dan habis menjadi sampah . Lalu beli lagi, tapi juga cepat habis.

Karya Thifa terbuat dari kain, sehingga bisa digunakan berulang kali. Jika maskernya kotor, maka bisa dicuci dan dijemur. Setelah masker yang dicuci itu kering, maka bisa digunakan lagi. Masker dari kain perca juga bisa menghemat uang, karena bisa dipakai berulang kali.

Cara memakai masker ini sama seperti cara menggunakan masker sekali pakai. Yang pasti, harus menutup hidung dan mulut. Itu saja dari saya, terima kasih…” . Dan akhirnya, Thifa mengakhiri laporannya.

Total karya yang dibuatnya bersama Ibunya berjumlah 5 masker. Rencananya, beberapa masker itu ada yang hendak dibagikan ke para tetangga yang sekiranya membutuhkan.

Thifa lega. Tugasnya akhirnya selesai. Dia tinggal menunggu laporan nilai dari gurunya. Bagus atau tidak nilainya, yang penting Thifa sudah berusaha untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Hasil terbaik itu ada di tangan Allah.

Menjelang pukul 12 siang, Bu Sri mengirimkan nilai hasil kerja Thifa. Begitu mengetahui hal itu, Thifa segera mengecek nilainya di HandPhone milik Ibunya. Dia kaget sekaligus senang. Untuk hasil karyanya, Thifa mendapat nilai A. Jarang-jarang dia mendapat nilai A sejak diajar oleh Bu Sri. Biasanya, dia mendapatkan nilai B plus. Betapa senangnya dia hari itu. Dia puas melihat hasil dari usahanya.

Sebagai tanda rasa syukur, Thifa menjalankan rencananya. Saat sore, biasanya banyak anak yang bermain di dekat rumahnya. Dia memanggil anak-anak itu, kemudian membagikan masker buatannya dan Ibunya. Anak-anak itu berterima kasih pada Thifa, dan senyum menghiasi wajah mungil mereka.

Hore! Aku dapat masker lucu! Ada kelincinya! “ ujar salah satu anak.

Aku juga dapat! Ada bunga melatinya! “

Punyaku ada kucingnya! Meow! “

Kemudian, anak-anak itu pergi. Thifa ikut merasa senang setelah mendengar komentar anak-anak itu tentang masker pemberiannya.

Beberapa hari kemudian, Thifa melihat anak-anak yang diberinya masker itu tidak lagi membuang sampah masker sekali pakai sembarangan. Dia juga melihat jalanan sudah mulai bersih dari masker sekali pakai yang sudah habis masa penggunaannya.

Dalam hati, Thifa berniat untuk mencari solusi yang lebih baik untuk mengatasi permasalahan dunia. Seperti yang diajarkan Bu Sri, tugas manusia adalah memperbaiki diri, sekitarnya, dan seluruh bumi. Itulah yang sebenarnya ingin Bu Sri jelaskan pada Thifa dan teman-teman satu kelasnya. Tugas mencari solusi ini adalah sebuah langkah awal para wanita ini untuk memperbaiki bumi.

(Tulisan ini adalah cerpen yang dibuat saat Lomba Cerpen Gramedia “Hidup berdampingan dengan Covid-19”)

2 thoughts on “Mencari Solusi di Tengah Pandemi (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *