Hufft… Akhirnya Tarawih ini selesai… Aku memutar badanku sambil bergumam,
“Kok aku pingin ikut Ayah motret fajar ya.”
Ibuku langsung merespon,
“Apa? Kamu mau ikut Ayah ke menara besok?”
“Mmm… Gimana ya.. Pingin aja sih..” kataku dingin
Setelah pulang dari masjid, aku muroja’ah sebentar, lalu bersiap tidur. Saat aku menarik selimut dan siap masuk ke alam mimpi, Ibuku menceritakan pada Ayahku kalau aku ingin ikut melihat fajar. Dan, Ayahku mengizinkanku ikut bersamanya besok. Berarti, harus bangun pagi! Biar gak ditinggal!
Belaian lembut terasa di pipiku. Suara pelan menenangkan ikut mengiringi belaian itu. Itu Ibuku.
“Jadi ikut ayah nggak?” tanya Ibuku.
Aku menarik tubuhku sebentar sambil berpikir.
“Jadi wes (lah).. ” jawabku dengan mata tertutup.
“Kalo gitu, ayo lek (segera) siap-siap…” kata Ibuku sembari meninggalkan kamar.
Aku bangun dari tempat tidur dan mencoba sekuat tenaga untuk membuka mata yang masih mengantuk itu. Aku ke kamar mandi dan berwudhu, lalu bersiap.
Akhirnya aku siap. Ibuku menyarankanku untuk membawa Qur’an. Dan aku melakukan saran itu. Aku keluar membawa tas berisi bekal yang diberikan Ibuku untuk sahurku dan Ayahku. Ketika hendak berangkat, adikku bikin keributan setelah terbangun. Sudahlah, cerita itu di skip aja…
Udara dingin begitu menusuk. Masjid yang sudah tak asing lagi bagiku itu sudah semakin dekat. Dan akhirnya, kami sampai di tempat parkir masjid itu, masjid Jami’ Al-Umm.
Sebelum ke atas, Ayahku meminta kunci menara ke satpam atau… Apa ya? Ya sudahlah! Pokoknya gitu! Selanjutnya, Ayahku langsung mengajakku kemon ke menara. Kami melewati tangga di samping tempat jama’ah laki-laki. Oh iya! Sebelum naik tangga, kami melepas sandal. Eh, setelah lepas sandal, Ayahku menyuruhku membawanya sampai atas. Ya sudahlah.. Turuti saja…
Sampai di gerbang kubah masjid, kami memakai sandal lagi. Tempat kubah ini cukup luas. Dari jauh, aku bisa melihat lampu-lampu kota yang bagaikan bintang. Kukira, inilah tempat ayahku memotret fajar. Ternyata bukan. Ayahku lanjut mengajakku ke sebuah pintu kaca.
Karena pintunya kaca, aku bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu. Dengan kunci yang tadi diambilnya dari penjaga, Ayahku membuka pintu kaca itu. Tangga yang sudah aku lihat dari luar itu akhirnya kupijak. Satu persatu anak tangga terlewati, dengan Ayahku yang sudah lebih dulu di depan.
“Awas, rokmu jangan diinjak.” pesan Ayahku.
Ketika hampir mencapai ujung tangga,
“Eh… Roknya malah tak injek (injak)… Hehe..” kataku santai.
Tempat pemotretan fajar sudah nampak di depan mata. Ayahku langsung melewati tangga itu dengan mudah dan sampai ke tempat memotret. Aku masih agak ketakutan melewati tantangan tangga yang terakhir itu. Dan… Akhirnya berhasil juga.
Ayahku meletakkan barang-barang dan menyiapkan kamera. Aku masih kagum dengan pemandangan kota Malang yang gemerlap saat malam. Jam masih menunjukkan sekitar pukul empat pagi. Langit masih gelap. Ayahku menggelar sajadah yang dibawanya di belakang kamera. Aku mengeluarkan bekal dan kami sahur di menara, ketinggian, dan dingin.
Aku tak perlu waktu lama untuk menghabiskan jatah sahurku. Dari sana, terdengar masjid-masjid mengingatkan tentang dekatnya waktu Imsak. Padahal jadwal Imsak yang sebenarnya masih lama. Ketika sahur pula, aku mendengar kamera yang dipasang Ayahku memotret sendiri. Itu karena Ayahku telah menyetingnya dengan suatu alat yang aku tak tahu apa nama alat itu.
Selesai sahur, aku melihat lagi pemandangan malam itu. Brr.. Udara semakin dingin saja. Aku memperhatikan beberapa mobil yang berlalu lalang di jalanan bawah. Seperti mobil mainan menurutku. Beberapa waktu kemudian, terdengar adzan bersahut-sahutan. Tapi bukan dari masjid tempatku berada. Melainkan dari masjid lain.
“Udah pada adzan. Padahal langitnya masih gelap.” kataku sambil mengedarkan pandangan ke arah tempat seharusnya fajar muncul.
Kata Ayahku, kabut tebal menutupi tempat gunung-gunung bisa terlihat. Sehingga, ketika fajar itu datang, ia tak terlalu terlihat. Ketika masjid lain selesai sholat shubuh, barulah Al-Umm adzan. Itu baru waktu yang tepat. Saat itu, fajar shadiq telah muncul walau belum terlalu terlihat disebabkan kabut tadi.
Ayahku melihat jadwal bulan terbit. Dan, itu tak lama lagi. Aku belum pernah melihat bulan terbit. Jadi, aku tak akan melewatkannya. Pandanganku terus tertuju pada tempat yang dikatakan Ayahku disanalah bulan akan terbit. Lalu Ayahku menggelar sajadah di sisi kiri tempat kami memotret. Kemudian sholat qabliyah shubuh. Setelah selesai, Ayahku menyuruhku sholat qabliyah juga.
Ketika iqomah, Ayahku turun ke bawah untuk sholat. Sementara aku disuruh untuk tetap disana. Aku sholat shubuh disana. Oh iya! Setelah sahur, aku sempat muroja’ah setengah juz. Lalu setelah sholat shubuh, aku melanjutkan muroja’ahku. Pemandangan yang indah dari ketinggian itu membuatku ingin melolong. Dan aku melakukannya. Hehehe…
Aku selesai muroja’ah ketika Ayahku kembali. Aku mengatakan kalau aku ingin ke kamar mandi sebentar. Dan setelah diizinkan, aku turun. Melewati tangga itu lagi. Tapi, tak seseram ketika pertama kali menginjak anak tangganya.
Sesampainya di halaman kubah masjid, Ayahku memanggilku dari atas dan menyuruhku untuk menunggu di bawah setelah dari kamar mandi. Oh iya! Fajar shodiq telah terlihat dan bulan telah terbit. Aku hanya mengangguk dan segera menuruni tangga lain untuk mencapai permukaan tanah.
Aku segera ke kamar mandi. Setelah selesai, aku menuju tempat parkir dan menunggu Ayahku di atas motor. Kukira, Ayahku akan segera turun. Tapi ternyata, tak kunjung nampak batang hidungnya. Karena sudah cukup lama menunggu, aku kembali ke atas.
Aku memanggil Ayahku yang sedang membereskan barang-barang di atas menara. Dia bertanya kenapa aku kembali. Aku jawab tidak ada apa-apa. Aku sempat berputar-putar di sekitar halaman kubah itu. Pemandangan kota ini begitu indah, membuatku betah. Apalagi angin sejuknya disertai cahaya fajarnya yang menenangkan.
Akhirnya Ayahku turun dari menara dan mengunci kembali pintu kaca tadi. Aku dan Ayahku turun ke bawah, dan aku langsung menuju motor Ayahku. Ayahku mengembalikan kunci ke penjaga, dan mengajakku pulang. Dan, disinilah cerita super panjangku berakhir… Ternyata begini rasanya ikut seorang pemburu fajar..
Berikut ini format timelapse dari foto hasil pengamatan fajar shodiq yang berhasil diabadikan dengan kamera DSLR.
(Kisah nyata yang dialami penulis pada pagi Senin tanggal 10 Mei 2021. Dan foto fajar merupakan hasil jepretan Ayah dari penulis)
By : NLT
waaw maasyallaah
Masya Allah .. narasinya mantap nih .. barakallah
Masya Allah… Baru belajar kok… Hehe