Madinah Munawwarah, usai perang Yamamah.
‘Umar bin Al-Khaththab, bersama Khalifah Rasulillah Abu Bakar Ash-Shiddiq, menyambut kepulangan pasukan muslimin dari medan Yamamah. Dengan penuh kerinduan, ‘Umar bin Al-Khaththab mengedarkan pandangan. Mencari-cari sosok yang ia tunggu-tunggu. Ia sudah menyiapkan diri untuk menyampaikan selamat kepada sosok, yang tak lain adalah kakak kandungnya, Zaid bin Al-Khaththab.
Seseorang mendekati ‘Umar bin Al-Khaththab.
“Saudara Anda, Zaid bin Al-Khaththab, syahid dalam perang itu…” kabar orang tsb.
Deg.
Bumi seolah berhenti berputar. Perlahan, bulir bening menetes di pipi ‘Umar. Kenangan akan sosok Sang Kakak berkelebatan di pelupuk matanya. Sosok yang lembut, suka menyambung tali persaudaraan, low profile…
“Rahimallahu Zaid bin Al-Khaththab…. Ia telah mendahuluiku dalam dua kebaikan ; Ia masuk Islam lebih dulu dan lebih dulu syahid…. ” lirih ‘Umar bin Al-Khaththab.
‘Umar tak akan lupa..
######
Beberapa tahun setelah perang Yamamah, kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab, peperangan Tustar.
Pengepungan benteng Tustar berlangsung sengit. Pasukan Persia menjulurkan rantai-rantai besi berujung kait panas dari dalam benteng. Jika ada pasukan muslim yang mendekat ke benteng, kait panas itu akan menyambar tubuhnya. Kemudian, yang tersambar tak akan mampu melepaskan diri. Dagingnya akan rontok, dan ia gugur sebagai syahid.
Di antara pasukan muslimin, tampak dua bersaudara yang bertempur melawan musuh ; Anas bin Malik dan Al-Barra’ bin Malik. Keduanya nampak kompak. Hingga di satu keadaan, salah satu kait panas menyambar tubuh Anas bin Malik. Al-Barra’ bin Malik melihat saudaranya itu. Tanpa pikir panjang, ia melompat dan memegang kait besi panas tsb. Melepaskan saudaranya. Akhirnya, Anas bin Malik terselamatkan. Namun, karena kait panas itu, daging di telapak tangan Al-Barra’ habis terbakar. Menyisakan tulang tangan yang berwarna kecoklatan.
#######
Flash back jauh ke belakang, perang Uhud.
Perang antara kaum muslimin dan kafir Mekkah tengah berkecamuk dengan sengitnya. Zaid bin Al-Khaththab, menyabetkan pedang dengan mahirnya. Menebas dan memukul. Di satu keadaan, baju besinya terlepas. Adiknya, ‘Umar bin Al-Khaththab, melihat kakaknya yang dalam keadaan bahaya. Musuh bisa dengan mudah melukainya!
“Wahai Zaid! Pakailah baju besiku ini!” seru ‘Umar kepada Zaid.
“Aku juga menginginkan mati syahid, seperti yang kau inginkan, wahai ‘Umar!” jawab Zaid sambil terus menyerang lawannya.
‘Umar tertegun. Namun tak lama. Ia kembali fokus pada senjatanya. Sedangkan Zaid, dengan gagah berani, membelah barisan lawan tanpa baju besi. Tapi di perang itu, Allah belum mempertemukannya dengan syahadah.
########
Melompat lagi ke depan, perang Qadisiyah, kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab.
Di hari yang dikenal sebagai hari Aghwats, Al-Qa’ qa’ bin ‘Amr, bersama pasukan bantuan dari Syria -yang didominasi oleh anak-anak Bani Tamim, menyerang pasukan Persia. Membantu pasukan Sa’d bin Abi Waqqash.
Kuda-kuda pasukan muslimin ketakutan melihat gajah-gajah raksasa di barisan pasukan Persia. Sehingga mereka menjadi tak terkendali. Sa’d bin Abi Waqqash, komandan kaum muslimin, memantau pertempuran dari baraknya. Ia melihat, bahwa gajah-gajah itulah yang mengacaukan formasi pasukan muslimin. Maka ia memerintahkan pada dua bersaudara dari Bani Tamim, Al-Qa’ qa’ bin ‘Amr dan ‘Ashim bin ‘Amr, untuk menyerang gajah putih dan gajah belang. Dua gajah inilah yang dianggap sebagai yang terbesar dari gajah-gajah yang lain.
Dua bersaudara dari Bani Tamim ini pun melesat. Menyerang gajah putih. Sementara gajah belang, diserang oleh beberapa orang dari kaum muslimin. Mereka menombak kedua mata gajah dan menebas belalainya. Gajah-gajah pun mundur. Lari ketakutan. Mereka menjadi sulit untuk dikendalikan. Atas pertolongan Allah, kaum muslimin berhasil membunuh pasukan Persia di atas gajah dan memenangkan pertempuran hari itu.
##########
Penaklukkan Madain, beberapa hari setelah perang Qadisiyah.
Lagi-lagi, Al-Qa’ qa’ bin ‘Amr bersama saudaranya, ‘Ashim bin ‘Amr, tampil sebagai komandan. Kali ini, mereka ditugaskan oleh panglima Sa’d bin Abi Waqqash untuk meretas jalan menuju Madain. Lebih tepatnya, seberang sungai Tigris.
Saat itu, Sa’d bin Abi Waqqash membentuk dua batalyon untuk penyeberangan itu. Batalyon pertama, atau ‘Batalyon Mengerikan’, yang dipimpin oleh ‘Ashim bin ‘Amr. Dan batalyon kedua, atau ‘Batalyon Mematikan’, yang dipimpin oleh Al-Qa’ qa’ bin ‘Amr.
Dua batalyon ini ditugaskan untuk menyingkap bahaya dan meretas jalan untuk menyiapkan tempat yang aman di seberang sungai Tigris. Agar induk pasukan (pasukan utama) yang akan menyeberang di belakang mereka bisa sampai ke seberang dengan selamat. Dan dua batalyon itu melaksanakan tugas mereka dengan ketrampilan yang membuat Sa’d bin Abi Waqqash sendiri berdecak kagum.
###########
Pengepungan Manadzir, kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab.
Komandan pasukan kaum muslimin, Abu Musa Al-Asy’ari, memasukkan dua bersaudara, Al-Muhajir bin Ziyad Al-Haritsi dan Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi ke dalam pasukannya. Dan peperangan kali ini, kaum muslimin melawan penduduk Manadzir di bumi Al-Ahwaz. Jarang ada pertempuran sedahsyat pertempuran itu.
Kaum muslimin saat itu dalam keadaan berpuasa Ramadhan. Korban banyak berjatuhan. Al-Muhajir bin Ziyad, melihat korban banyak berjatuhan di pihak kaum muslimin. Maka ia mengambil kain kafan, dan bertekad menjual dirinya kepada Allah demi mencari keridhaanNya. Lalu ia berwasiat kepada saudaranya, Ar-Rabi’ bin Ziyad.
Melihat tekad kuat saudaranya, Ar-Rabi’ bin Ziyad mendatangi Abu Musa Al-Asy’ari.
“Al-Muhajir telah bertekad untuk menjual dirinya kpd Allah sementara ia masih berpuasa. Sedangkan kaum muslimin sendiri harus memikul dua perkara yang tidak ringan ; beban peperangan dan beratnya berpuasa. Hal itu memperlemah semangat mereka, namun mereka menolak untuk berbuka. Maka lakukanlah apa yang menurutmu baik.” ujarnya.
Maka Abu Musa Al-Asy’ari berdiri di hadapan pasukannya. Seraya berkata,
“Wahai kaum muslimin! Aku meminta dengan sangat kepada setiap muslim yang berpuasa agar berbuka atau menghentikan peperangan!”.
Lalu Abu Musa minum dari sebuah kendi di dekatnya, dengan harapan kaum muslimin akan mengikutinya. Mendengar perintah itu, Al-Muhajir bin Ziyad meminta air dan meminumnya seteguk.
“Demi Allah, aku tidak meminumnya karena haus. Aku minum karena menaati perintah panglima…” katanya.
Tanpa berbasa-basi lagi, Al-Muhajir bin Ziyad menghunus pedangnya. Membelah barisan musuh dengan berani. Tanpa ada sedikit pun rasa takut maupun gentar. Dan apa yang sudah ditakdirkan, akhirnya terjadi. Beberapa pasukan dari pihak musuh mengepung Al-Muhajir, menghabisinya. Hingga Al-Muhajir pun tersungkur sebagai syahid.
Ar-Rabi’ bin Ziyad melihat jasad saudaranya itu. Ia menghembus nafas pelan.
“Beruntunglah dirimu, dan itu merupakan tempat kembali yang baik untukmu…. ” gumamnya setelah melihat kepala Al-Muhajir yang dipajang di sebuah teras.
Sekali lagi, Ar-Rabi’ menghembus nafas.
“…. Demi Allah, aku akan membalas untukmu dan untuk korban kaum muslimin lainnya.. Insya Allah..” gumamnya lagi.
Ar-Rabi’ menatap tajam ke arah musuh. Bertekad kuat untuk menghancurkan mereka dan memenggal kepala-kepala mereka…
##########
Itulah sedikit potret para sahabat Rasul dengan saudara mereka yang beriman.
Betapa indahnya…
Saudara kandung sesama muslim. Bersama, berjuang meninggikan agama yang benar ini. Mereka saling mencintai dan saling mendukung. Kerja sama yang luar biasa, walau mungkin sedikit berbeda sifat. Mereka satu hubungan dalam keluarga, satu hubungan pula dalam Islam.
Sekarang, lihatlah kita sekarang.
Yang katanya, berusaha meniru para sahabat Rasul…
Sudah sedekat itukah hubungan kita dengan saudara kandung kita? Yang jelas-jelas mereka terlahir dalam keadaan muslim?
Sudahkah kita peduli, menyayangi, dan bekerja sama tanpa banyak pertengkaran?
Sudahkah?
~Dragon Azul
Hmm… Lihat gambarnya, pengen nangis..