Ya Abati…
Begitulah Nabi Ibrahim memanggil ayahnya sebelum mendakwahinya. dengan panggilan itulah, Nabi Yusuf memanggil ayahnya, Nabi Ya’qub.
Hmmm.. Ya. Panggilan ini bukan panggilan yang asing bagi orang arab. Kalau dibahasakan dengan bahasa Indonesia, kurang lebih artinya adalah, “Wahai Ayahanda…”.
Apa yang akan kita bicarakan?
Hei, cobalah kita lihat judulnya. Harusnya sudah bisa ditebak. Dari gambar utama, sepertinya juga makin jelas, apa yang akan kita bicarakan kali ini.
Kali ini, kita akan membicarakan sesosok laki-laki, yang mencintaimu sepenuh hati. Mengorbankan diri, demi tidur nyenyakmu di malam hari. Banting tulang demi rasa kenyangmu di pagi hari. Sosok itu, tak lain adalah….
Ayah.
#########
Sebagai anak pertama, perempuan (seperti aku)… Mungkin sosok ayah inilah yang merupakan “cinta pertamamu” (kata orang-orang gitu sih). Ia adalah laki-laki pertama yang kamu kenal dalam hidupmu.
Di awal, sudah sedikit ku ceritakan bagaimana para nabi dengan ayah mereka. Dan kisah mereka tercantum dalam Al-Qur’an. Dari sini, kita bisa ambil satu pelajaran. Salah satu adab kita pada ayah, adalah memanggil mereka dengan panggilan terbaik. Misalnya ya… Tadi. Ya Abati, atau Ayahanda, atau Ayah.. Apa ajalah. Suatu hal yang kurang baik jika kita memanggil ayah kita dengan langsung menyebut namanya.
Saat menulis artikel ini, seolah pandanganku menerawang ke masa lalu. Membayangkan para idolaku, Rasulullah dan para shahabah. Beberapa kisah tentang mereka dengan ayah-ayah mereka.
‘Abdullah bin Suhail, mencarikan keamanan bagi ayahnya, Suhail bin ‘Amr, saat Fathu Mekkah. Saat itu, Suhail bin ‘Amr memang belum memeluk Islam. Ia meminta kepada ‘Abdullah untuk mencarikan jaminan keamanan untuknya. Maka ‘Abdullah menemui Rasulullah dan memintakan jaminan aman bagi Sang Ayah. Padahal, dulu ayahnya itu menyiksanya karena keislamannya.
Rasulullah pun memberikan jaminan itu. Kemudian, Suhail bin ‘Amr menemui Rasulullah dan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bayangkan, betapa bahagianya ‘Abdullah bin Suhail…
Ketika ‘Abdullah bin Suhail syahid di perang Yamamah, Suhail bin ‘Amr menangisinya. Waktu kebersamaannya dengan anaknya itu tidak banyak. Karena mereka sempat berbeda keyakinan. Dan ia sangat menyesali hal itu. Kemudian, ia pun bertekad untuk berjihad membela agama Allah, mencari syahadah. Menyusul anaknya, ‘Abdullah bin Suhail…
########
‘Umar bin Al-Khaththab, ketika awal-awal menjabat sebagai khalifah, sudah mewanti-wanti anak-anaknya. Bahwa ia akan memperlakukan mereka seperti halnya ia memperlakukan rakyat yang dipimpinnya. Tidak ada kekhususan ‘anak khalifah’ bagi mereka.
“Assam’u wath tha’ah..” kata anak-anak Amirul Mukninin.
Mereka patuh pada ayah mereka. Karena mereka percaya, kebijakan ayah mereka ini akan membawa banyak kebaikan bagi kaum muslimin yang dipimpinnya.
##########
Ketika cahaya Islam mulai menyinari kota Mekkah, ‘Ammar bin Yasir yang masih muda, segera menyambut cahaya itu. Setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, ia berpikir untuk mengajak ayah dan ibunya untuk memeluk agama yang damai ini. Ia pun mendatangi keduanya. Menceritakan tentang cahaya yang tengah bersinar itu. Tak perlu lama bagi keduanya untuk menyambut seruan tsb. ‘Ammar bin Yasir tersenyum. Ayahnya, Yasir bin Amir, dan ibunya, Sumayyah binti Khayyath, akhirnya menjadi bagian dari ‘kafilah kebenaran’.
Inilah mereka, Alu Yasir. Satu keluarga yang dijamin surga…
########
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, memang masuk Islam lebih dahulu dari ayahnya. Ia rajin beribadah. Dan sangat tekun. Sampai-sampai Rasulullah mengkhawatirkannya.
“Aku tahu bahwa engkau membaca Al-Qur’an seluruhnya dalam satu malam. Aku khawatir bila usiamu lanjut dan engkau bosan membacanya. Khatamkanlah setiap sebulan sekali, atau sekali dalam sepuluh hari, atau sekali dalam tiga hari..” begitu saran Rasulullah ketika mengetahui bahwa ‘Abdullah selalu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari.
Rasulullah sering kali menasehatinya agar sedang-sedang saja dalam beribadah. Di kali terakhir, ‘Amr bin Al-‘Ash juga hadir bersama ‘Abdullah -anaknya-. Rasulullah meraih tangan ‘Abdullah dan meletakkannya di tangan ayahnya, ‘Amr bin Al-‘Ash. Lalu bersabda,
“Lakukanlah apa yang kuperintahkan dan taatilah ayahmu”.
Pesan itu, selalu diingat oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash.
########
Fathimah binti Muhammad selalu setia mendampingi Sang Ayah. Di jalan dakwah yang penuh rintangan, ia tetap ada di samping ayahnya. Lihatlah bagaimana putri Rasulullah ini mengobati luka ayahnya usai perang Uhud. Lihatlah suka dukanya mendampingi Sang Ayah. Itu semua adalah kisah-kisah luar biasa yang terus diingat oleh kaum Muslimin.
########
Begitulah…
Dan saatnya membuka mata. Kilas balik sudah selesai. Walau sebenarnya, masih lebih banyak.
Dari beberapa kisah singkat tadi, aku yakin kalian sudah bisa mengambil hikmahnya.
Bagaimana pun keadaannya, hormati ayah kalian. Taati perintahnya selama ia tidak memerintahkanmu untuk suatu keburukan.
Rabbighfir lii wa li waalidayy, warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa…
~Dragon Azul
Ibu cemburu…🥺